skip to main | skip to sidebar
Banjir Bik Sarti
LELAKI DALAM GENDONGAN
Kampung Kebun Pisang
Tanya Tukang Cuci
Lelaki Bermata Sungai
HUBUNGAN ABADI
CERMIN PENINGGALAN
Anak Inkubator
RUMAH WARISAN
Cerita Perempuan
Kekuatanku
MERAH LURUS MERAH LIKU
Selamat Datang (Welcome)!
Menelaah Sastra Kontemporer Kita; Dicari: Pengamat Sastra yang ”Banal”!
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0901/10/bud01.html
Menelaah Sastra Kontemporer Kita
Dicari: Pengamat Sastra yang ”Banal”!
Oleh
Sihar Ramses Simatupang
Jakarta – Siapakah pengamat yang menggali nama pengarang di luar kubu Humanisme Universal, di luar nama Goenawan Mohammad, Taufik Ismail, Wiratmo Soekito, Gerson Poyk atau HB Jassin – termasuk Chairil Anwar? Siapakah yang menggali kekuatan sastra, tentu selain nama Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi atau Utuy Tatang Sontani di kubu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)? Sudah banyak!
Yang belum banyak adalah pengamat yang menimang karya pengarang di luar kubu di atas, pada zaman itu. Karya dan biografi pengarang berkualitas lainnya yang berada dalam keanggotaan Lesbumi atau LKN misalnya, atau bahkan yang berasal dari pihak independen alias pengarang yang tak berpartai - tentu selain nama Iwan Simatupang!
Dalam kriteria semacam itu, tak ada juga yang memungut nama penyair yang ikut merekonstruksi pantun modern Indonesia selain Amir Hamzah atau penyair kontemporer Sitor Situmorang yang sebagian pengamat menganggap puisinya bernuansa pantun kontemporer. Siapa juga yang mempertanyakan kemodernan dan kecanggihan struktur puisi penyair selain Chairil Anwar?
Pertanyaan yang umum adalah, masihkah ada pengamat yang banal, berpikir rekonstruktif apalagi dekonstruktif terhadap tatanan yang mapan selama ini? Rata-rata berusaha nyaman dalam kemapanan sejarah mainstream, semua cenderung konvensional.
Mereka tak berani menggali atau menafsir sejarah baru, atau sejarah yang tertinggal. Mungkin karena tak mau lelah, sulit untuk berkonsentrasi, ingin menghemat biaya penelitian seminimal mungkin, atau terbentur dana akademis. Tak ada lagi ”ajip-ajip” lain, yang melakukan tindakan seperti Ajip Rosidi, meyakinkan publik tentang periodisasi sastra, lalu menggugat sejarah versi Jassin yang membagi sejarah sastra berdasarkan angkatan 1928,1945,1966 dst. Pengamat sekarang nyaris tak ada yang menolak kategori atau sistem referensi di atas. Misalnya dengan membuat sejarah sastra per tahun, per wilayah di Indonesia - termasuk sastrawan yang eksil dan merantau, atau kategori usia (mengapa tidak?).
Itu belum terjadi. Yang dilakukan pengamat adalah selalu berada di jalur aman, membaca, menilai karya sastrawan yang mapan di jalur sejarah. Pengamat sekarang tak mengambil risiko, tak menguji kekuatan pengamatannya dari hasil pembelajaran akademis bertahun-tahun, malah ”menjilat” sejarah beku, dengan cara (lagi-lagi) menulis, membahas karya sastrawan tua yang karyanya sudah dibahas puluhan bahkan ratusan pengamat lain lewat ribuan tulisan.
Tradisi akademisi (sastra) yang dulunya kuat dengan pemaparan sistematika, objektivitas dan metode, pada akhirnya semakin ”memenara gading”, sehingga menjadi bumerang buat dinamika sastra.
Hal itu semata karena ketidakjujuran konsep, polarisasi kelompok sehingga makin terasa usaha "pilih kasih" terhadap setiap amatan teks. Hasilnya, sejarah dan analisis sastra kemudian cenderung tak berani membongkar wilayah baru gagasan, kepengarangan, apalagi konsep dan perubahan yang terus berkembang di segala zaman.
Minimnya Peran Akademisi
Pandangan post modernisme berupa the other, liyan, di Indonesia yang seharusnya membuka kotak pandora sejarah sastra, malahan merelatifkan setiap pengarang, teks dan konsepnya. Hal itu terjadi dalam kesusastraan. Yang mengemuka bukan lagi pada gagasan (yang begitu banyak bermunculan), justru perhatian publik lebih tercurah kepada siapa yang berbicara.
Pertaruhan selanjutnya adalah gagasan yang cenderung diterima publik justru adalah jaringan, media massa bahkan propaganda. Memasuki pola ini, maka yang akan terbaca kemudian adalah perbincangan teks-teks karya sastra yang dangkal dan di permukaan saja. Buku yang disarankan media, televisi, atau penerbitlah yang dibaca. Fungsi akademisi dan fungsi sastrawi para pengamat kemudian tergantikan oleh tawaran konseptor yang bermotif sensasi, politisasi dan industri. Kita butuh karya seperti Mashuri, Tusiran Suseno, Calvin Michel Sidjaja, Junaedi Setiyono, Yonathan Rahardjo, Anindita Siswanto Thayf, dibahas karyanya, bukan dengan hanya menyodorkan namanya belaka.
Di fase semacam ini, sulit untuk menentukan kualitas, karena pengamat yang seharusnya menguji kualitas teks secara estetis, etis, dan logis, tergantikan para medioker dan "konseptor tak tulus" tadi. Maka, pembaca (atau yang belum membaca dan setengah membaca pun) menjadi tersesatkan oleh informasi-informasi "picisan"!
Publik pun dipermainkan oleh euforia yang silih berganti, dari "kulit" sebuah teks, ke "kulit" teks yang lain. Di tataran ini, sulit untuk menentukan kekuatan teks "Laskar Pelangi" Andrea Hirata, "Rahasia Meede, Harta Karun VOC" Es Ito, "Mahasati" Qaris Tajudin, "Bilangan Fu" Ayu Utami, misalnya, kecuali mengujinya dalam perjalanan kurun waktu dan radius jangkau para pembacanya. Selama apa teks bertahan dan sebesar apa komunitas yang menggemarinya. Apalagi, bila gemuruh pembicaraan tak lagi mengarah kepada soal teks secara mendalam, namun hanya mengarah pada kemasan alias hanya di permukaan. Persoalan waktu dan ruang ini setidaknya telah dilewati oleh Katrologi "Bumi Manusia" Pramoedya Ananta Toer, "Burung-burung Manyar" YB Mangunwijaya, atau Trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" Ahmad Tohari.
Nama-nama penulis kontemporer yang disebutkan di atas bukan tak mungkin muncul, bertahan bahkan menguat di perjalanan sejarah. Karena itu, diperlukan pengamatan teks atas estetika, etika dan logika yang lebih teliti, bukan euforia yang sekadar menyertakan biografi pengarang, latar komunitas pengarang, ataupun politik si pengarang (dengan kawan-kawannya) saja. Bila pun fenomena terakhir ini dilakukan, niscaya karya sastra itu akan lumpuh dan mati dengan sendirinya. Kenyataannya, beberapa (buku) karya sastra yang belakangan digenjot lewat publikasi sensasional pun kemudian harus bertekuk lutut oleh debu di rak buku atau berakhir dengan desah kekecewaan si pembaca yang tangannya kemudian menumpuk buku di lemari terbawah dalam perpustakaan pribadinya.
Hanya pengamat sastra yang menyediakan waktu, pikiran, tenaga dan dana, yang dapat menyelamatkan situasi ini. Mereka, tentu terbendung oleh kekuasaan media massa, penerbitan, sewa ruang diskusi, atau mahalnya biaya pulsa internet demi melempar opini di situs ataupun milis. Namun, pengamat tetap harus bicara! Akademikus harus keluar dari tembok kampusnya dan bersuara! Tatkala sensasi semakin kotor, analisislah yang membersihkannya. n
Menelaah Sastra Kontemporer Kita
Dicari: Pengamat Sastra yang ”Banal”!
Oleh
Sihar Ramses Simatupang
Jakarta – Siapakah pengamat yang menggali nama pengarang di luar kubu Humanisme Universal, di luar nama Goenawan Mohammad, Taufik Ismail, Wiratmo Soekito, Gerson Poyk atau HB Jassin – termasuk Chairil Anwar? Siapakah yang menggali kekuatan sastra, tentu selain nama Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi atau Utuy Tatang Sontani di kubu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)? Sudah banyak!
Yang belum banyak adalah pengamat yang menimang karya pengarang di luar kubu di atas, pada zaman itu. Karya dan biografi pengarang berkualitas lainnya yang berada dalam keanggotaan Lesbumi atau LKN misalnya, atau bahkan yang berasal dari pihak independen alias pengarang yang tak berpartai - tentu selain nama Iwan Simatupang!
Dalam kriteria semacam itu, tak ada juga yang memungut nama penyair yang ikut merekonstruksi pantun modern Indonesia selain Amir Hamzah atau penyair kontemporer Sitor Situmorang yang sebagian pengamat menganggap puisinya bernuansa pantun kontemporer. Siapa juga yang mempertanyakan kemodernan dan kecanggihan struktur puisi penyair selain Chairil Anwar?
Pertanyaan yang umum adalah, masihkah ada pengamat yang banal, berpikir rekonstruktif apalagi dekonstruktif terhadap tatanan yang mapan selama ini? Rata-rata berusaha nyaman dalam kemapanan sejarah mainstream, semua cenderung konvensional.
Mereka tak berani menggali atau menafsir sejarah baru, atau sejarah yang tertinggal. Mungkin karena tak mau lelah, sulit untuk berkonsentrasi, ingin menghemat biaya penelitian seminimal mungkin, atau terbentur dana akademis. Tak ada lagi ”ajip-ajip” lain, yang melakukan tindakan seperti Ajip Rosidi, meyakinkan publik tentang periodisasi sastra, lalu menggugat sejarah versi Jassin yang membagi sejarah sastra berdasarkan angkatan 1928,1945,1966 dst. Pengamat sekarang nyaris tak ada yang menolak kategori atau sistem referensi di atas. Misalnya dengan membuat sejarah sastra per tahun, per wilayah di Indonesia - termasuk sastrawan yang eksil dan merantau, atau kategori usia (mengapa tidak?).
Itu belum terjadi. Yang dilakukan pengamat adalah selalu berada di jalur aman, membaca, menilai karya sastrawan yang mapan di jalur sejarah. Pengamat sekarang tak mengambil risiko, tak menguji kekuatan pengamatannya dari hasil pembelajaran akademis bertahun-tahun, malah ”menjilat” sejarah beku, dengan cara (lagi-lagi) menulis, membahas karya sastrawan tua yang karyanya sudah dibahas puluhan bahkan ratusan pengamat lain lewat ribuan tulisan.
Tradisi akademisi (sastra) yang dulunya kuat dengan pemaparan sistematika, objektivitas dan metode, pada akhirnya semakin ”memenara gading”, sehingga menjadi bumerang buat dinamika sastra.
Hal itu semata karena ketidakjujuran konsep, polarisasi kelompok sehingga makin terasa usaha "pilih kasih" terhadap setiap amatan teks. Hasilnya, sejarah dan analisis sastra kemudian cenderung tak berani membongkar wilayah baru gagasan, kepengarangan, apalagi konsep dan perubahan yang terus berkembang di segala zaman.
Minimnya Peran Akademisi
Pandangan post modernisme berupa the other, liyan, di Indonesia yang seharusnya membuka kotak pandora sejarah sastra, malahan merelatifkan setiap pengarang, teks dan konsepnya. Hal itu terjadi dalam kesusastraan. Yang mengemuka bukan lagi pada gagasan (yang begitu banyak bermunculan), justru perhatian publik lebih tercurah kepada siapa yang berbicara.
Pertaruhan selanjutnya adalah gagasan yang cenderung diterima publik justru adalah jaringan, media massa bahkan propaganda. Memasuki pola ini, maka yang akan terbaca kemudian adalah perbincangan teks-teks karya sastra yang dangkal dan di permukaan saja. Buku yang disarankan media, televisi, atau penerbitlah yang dibaca. Fungsi akademisi dan fungsi sastrawi para pengamat kemudian tergantikan oleh tawaran konseptor yang bermotif sensasi, politisasi dan industri. Kita butuh karya seperti Mashuri, Tusiran Suseno, Calvin Michel Sidjaja, Junaedi Setiyono, Yonathan Rahardjo, Anindita Siswanto Thayf, dibahas karyanya, bukan dengan hanya menyodorkan namanya belaka.
Di fase semacam ini, sulit untuk menentukan kualitas, karena pengamat yang seharusnya menguji kualitas teks secara estetis, etis, dan logis, tergantikan para medioker dan "konseptor tak tulus" tadi. Maka, pembaca (atau yang belum membaca dan setengah membaca pun) menjadi tersesatkan oleh informasi-informasi "picisan"!
Publik pun dipermainkan oleh euforia yang silih berganti, dari "kulit" sebuah teks, ke "kulit" teks yang lain. Di tataran ini, sulit untuk menentukan kekuatan teks "Laskar Pelangi" Andrea Hirata, "Rahasia Meede, Harta Karun VOC" Es Ito, "Mahasati" Qaris Tajudin, "Bilangan Fu" Ayu Utami, misalnya, kecuali mengujinya dalam perjalanan kurun waktu dan radius jangkau para pembacanya. Selama apa teks bertahan dan sebesar apa komunitas yang menggemarinya. Apalagi, bila gemuruh pembicaraan tak lagi mengarah kepada soal teks secara mendalam, namun hanya mengarah pada kemasan alias hanya di permukaan. Persoalan waktu dan ruang ini setidaknya telah dilewati oleh Katrologi "Bumi Manusia" Pramoedya Ananta Toer, "Burung-burung Manyar" YB Mangunwijaya, atau Trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" Ahmad Tohari.
Nama-nama penulis kontemporer yang disebutkan di atas bukan tak mungkin muncul, bertahan bahkan menguat di perjalanan sejarah. Karena itu, diperlukan pengamatan teks atas estetika, etika dan logika yang lebih teliti, bukan euforia yang sekadar menyertakan biografi pengarang, latar komunitas pengarang, ataupun politik si pengarang (dengan kawan-kawannya) saja. Bila pun fenomena terakhir ini dilakukan, niscaya karya sastra itu akan lumpuh dan mati dengan sendirinya. Kenyataannya, beberapa (buku) karya sastra yang belakangan digenjot lewat publikasi sensasional pun kemudian harus bertekuk lutut oleh debu di rak buku atau berakhir dengan desah kekecewaan si pembaca yang tangannya kemudian menumpuk buku di lemari terbawah dalam perpustakaan pribadinya.
Hanya pengamat sastra yang menyediakan waktu, pikiran, tenaga dan dana, yang dapat menyelamatkan situasi ini. Mereka, tentu terbendung oleh kekuasaan media massa, penerbitan, sewa ruang diskusi, atau mahalnya biaya pulsa internet demi melempar opini di situs ataupun milis. Namun, pengamat tetap harus bicara! Akademikus harus keluar dari tembok kampusnya dan bersuara! Tatkala sensasi semakin kotor, analisislah yang membersihkannya. n
Label: Sihar Ramses Simatupang
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Karya Kawan
- Adi Toha Jalaindra (1)
- Asahan Aidit (1)
- Budhi Setyawan (1)
- Elzam Zami (1)
- Ibrahim Isa (1)
- Isma (1)
- Johannes Sugianto (2)
- Kirana Kejora (1)
- Kurnia Effendi (1)
- Restoe Prawironegoro Ibrahim (3)
- Setyo Bardono (1)
- Sihar Ramses Simatupang (2)
- Theresia Purbandini (2)
Halaman Utama /Main Page
kesusastraan.co.cc
Berita-Ulasan (News-Review)
Novel Lanang
Puisi (Poetries)
Cerpen (Short Stories)
Artikel (Esai)
Baca Puisi
Berita-Ulasan (News-Review)
Novel Lanang
Puisi (Poetries)
Cerpen (Short Stories)
Artikel (Esai)
Baca Puisi
Cerpen
Anak Wali Kota
Banjir Bik Sarti
LELAKI DALAM GENDONGAN
Kampung Kebun Pisang
Tanya Tukang Cuci
Lelaki Bermata Sungai
HUBUNGAN ABADI
CERMIN PENINGGALAN
Anak Inkubator
RUMAH WARISAN
Cerita Perempuan
Kekuatanku
MERAH LURUS MERAH LIKU
Puisi
Puisi-Puisi Jawaban Kekacauan
PULIHKAN Aceh
BURU (di pulau)
DI-MUNIR, DI LABIRINNYA
Nurani KOREK JUMBO
GEMPA KUASAMU
JakartaKota – Bogor
Bercinta Mencegah Hutan Gundul
UNTUK PARA PEMENANG
FLU BURUNG
NERACA
PUISI UNTUK PRAM
DI SITU
bukan serabi Bandung
batagor
pecel lele
gado-gado
apem
arsik ikan mas
siomay
kerak telor
kacang campur
jus buah
kembang goyang
kacang bali
RUWAT BUMI
UPACARA BUMI
ROTI BAKAR
ROTI BUAYA
sambal terasi
Roti Keju
ROTI PERJAMUAN
Roti Selai
RUJAK BEBEG
rujak uleg
Salat Bar
SAJEN
Asinan
ARUMANIS
bagea
fried chicken
kikil
kopi pahit
krecek rengginang
kroket
kue kering
kue lumpur
GURIT KACA RASA
Bebendu Kala Kliru
toga
tingting jahe
terang bulan
tempe penyet
tempe enak
tempe bongkrek
tempe orek
telur mata sapi
telor asin
wajik ketan
waffel
urap
unthuk yuyu
ubi goreng ubi rebus
tumis
trasi sidoarjo
torpedo kambing
tongseng
tom yam
es kacang merah
es goreng
es doger
emping mlinjo
di bubur dan mi
donat
es campur
es cincau
es degan
PULIHKAN Aceh
BURU (di pulau)
DI-MUNIR, DI LABIRINNYA
Nurani KOREK JUMBO
GEMPA KUASAMU
JakartaKota – Bogor
Bercinta Mencegah Hutan Gundul
UNTUK PARA PEMENANG
FLU BURUNG
NERACA
PUISI UNTUK PRAM
DI SITU
bukan serabi Bandung
batagor
pecel lele
gado-gado
apem
arsik ikan mas
siomay
kerak telor
kacang campur
jus buah
kembang goyang
kacang bali
RUWAT BUMI
UPACARA BUMI
ROTI BAKAR
ROTI BUAYA
sambal terasi
Roti Keju
ROTI PERJAMUAN
Roti Selai
RUJAK BEBEG
rujak uleg
Salat Bar
SAJEN
Asinan
ARUMANIS
bagea
fried chicken
kikil
kopi pahit
krecek rengginang
kroket
kue kering
kue lumpur
GURIT KACA RASA
Bebendu Kala Kliru
toga
tingting jahe
terang bulan
tempe penyet
tempe enak
tempe bongkrek
tempe orek
telur mata sapi
telor asin
wajik ketan
waffel
urap
unthuk yuyu
ubi goreng ubi rebus
tumis
trasi sidoarjo
torpedo kambing
tongseng
tom yam
es kacang merah
es goreng
es doger
emping mlinjo
di bubur dan mi
donat
es campur
es cincau
es degan
Baca Puisi
Baca Puisi dari Panggung ke Panggung
Hajat Puisi, 2004
Komnas HAM, 2005
HUT RI DKJ, 2004
Pangan Lokal, 2006
Syair Tsunami, 2005
Tragedi 65, 2004
Labirin Luka, 2005
Labirin Luka Munir, 2005
Pas 9 IKJ, 2007
Rembulan Maroeli, 2004
Guyub Seniman Jakarta, 2005
Rumpun Jerami Bandung, 2004
Rumpun Jerami Bogor, 2004
Neo Hipta, 2006
Rumpun Jerami Tangerang, 2004
Juara Bojonegoro, 1981
Padang Bunga Telanjang, 2003
Pesta Karya Rahmat Ali, 2006
Invasi Amerika, 2003
Lukisan Aisulyanto, 2004
Lukisan Hary S, 2004
Apsas 2 Tahun, 2007
Wajah Slamet AW, 2004
Membaca Setiyo, 2007
JPL Borobudur, 2000
Imakahi Bogor, 2005
HA Karim Mahanan, 2002
HUT RI MSJ, 2004
Program Profesi PLH, 2000
HUT Jakarta, 2005
Kemerdekaan RI MSJ YinHua, 2005
Lomba Baca Karya Zawawi Imron, 1984
Pernikahan M Iksan, 2003
New Year JISDAC, 2006
Perlawanan Revitriyoso, 2006
Bibiana, 2005
Temu Kangen Seniman, 2007
Temu Kangen Koekoesan, 2007
HUT AJI, 2004
Peluncuran Buku Rahmat Ali, 2005
Lanang Lampion Sastra, 2007
Lanang Peluncuran ETSA, 2007
HUT Wiji Thukul, 2007
Puisi Urip Handiman Kambali, 2007
Puisi Budi Setyawan, 2007
HUT 3 APSAS, 2008
Birahi Laut Dino Umahuk, 2008
Setahun Wafatnya AS Dharta, 2008
Mengenang Chairil Anwar di TIM, 2008
Pameran Seni Rupa Bumi Tarung 2, 2008
1000 Wajah Pram, Blora, 2009
Hajat Puisi, 2004
Komnas HAM, 2005
HUT RI DKJ, 2004
Pangan Lokal, 2006
Syair Tsunami, 2005
Tragedi 65, 2004
Labirin Luka, 2005
Labirin Luka Munir, 2005
Pas 9 IKJ, 2007
Rembulan Maroeli, 2004
Guyub Seniman Jakarta, 2005
Rumpun Jerami Bandung, 2004
Rumpun Jerami Bogor, 2004
Neo Hipta, 2006
Rumpun Jerami Tangerang, 2004
Juara Bojonegoro, 1981
Padang Bunga Telanjang, 2003
Pesta Karya Rahmat Ali, 2006
Invasi Amerika, 2003
Lukisan Aisulyanto, 2004
Lukisan Hary S, 2004
Apsas 2 Tahun, 2007
Wajah Slamet AW, 2004
Membaca Setiyo, 2007
JPL Borobudur, 2000
Imakahi Bogor, 2005
HA Karim Mahanan, 2002
HUT RI MSJ, 2004
Program Profesi PLH, 2000
HUT Jakarta, 2005
Kemerdekaan RI MSJ YinHua, 2005
Lomba Baca Karya Zawawi Imron, 1984
Pernikahan M Iksan, 2003
New Year JISDAC, 2006
Perlawanan Revitriyoso, 2006
Bibiana, 2005
Temu Kangen Seniman, 2007
Temu Kangen Koekoesan, 2007
HUT AJI, 2004
Peluncuran Buku Rahmat Ali, 2005
Lanang Lampion Sastra, 2007
Lanang Peluncuran ETSA, 2007
HUT Wiji Thukul, 2007
Puisi Urip Handiman Kambali, 2007
Puisi Budi Setyawan, 2007
HUT 3 APSAS, 2008
Birahi Laut Dino Umahuk, 2008
Setahun Wafatnya AS Dharta, 2008
Mengenang Chairil Anwar di TIM, 2008
Pameran Seni Rupa Bumi Tarung 2, 2008
1000 Wajah Pram, Blora, 2009
0 komentar:
Poskan Komentar